Beberapa dari kita mungkin pernah mendengar peribahasa “No man is an island”. Kalimat bijak ini ditulis pada tahun 1624 oleh seorang penyair Inggris bernama John Donne dimana Ia memaknai bahwa sebuah pulau dapat mencukupi dirinya sendiri dan mandiri (1) – yang mana tidak mungkin dilakukan oleh sebagian besar orang, semampu apapun mereka. Kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa berfungsi tanpa orang lain.
Perlu diingat bahwa kalimat bijak ini ditulis pada abad ke 17, sehingga kata ‘man’ yang digunakan oleh John Donne tidak hanya ditujukan untuk laki-laki saja tetapi untuk manusia secara general. Tapi, apakah ada hal lain yang lebih spesifik secara gender dibanding hanya sebuah ungkapan bahasa saja? Apakah laki-laki dan perempuan punya kebutuhan yang berbeda dalam hal dukungan dari lingkungan sosial?
Yang pasti, dukungan dari lingkungan sosial berpengaruh sangat besar pada kesehatan laki-laki dan juga perempuan. Kita hanya harus melirik beberapa hasil riset ilmiah untuk menemukan buktinya (2). Dukungan sosial yang buruk berkaitan dengan depresi dan rasa kesepian, yang kemudian menyebabkan munculnya berbagai penyakit seperti tekanan darah tinggi, sistem imunitas menurun, penyakit jantung dan kepikunan (3). Fakta membuktikan bahwa dukungan sosial yang rendah berkaitan dengan naiknya resiko kematian akibat penyakit jantung, penyakit menular dan kanker (4). Sebuah penelitian pada laki-laki usia menengah selama 7 tahun menunjukkan bahwa mereka yang memiliki dukungan sosial dan emosional yang kuat memiliki resiko kematian yang lebih rendah dibanding orang dengan dukungan sosial dan emosional yang rendah (5).
Mari kita telusuri lebih dalam. Dalam sejarah, perempuan terikat satu sama lain untuk perlindungan dan dukungan. Ini bukan hanya dilakukan oleh manusia dari berbagai kultur yang berbeda saja; tapi juga dilakukan oleh banyak spesies lain. Dari merawat diri satu sama lain, merawat saat kondisi sakit, ikut merawat anak-anak satu sama lain...sepanjang sejarah, perempuan dari berbagai spesies telah terlibat dalam tindakan sosial seperti ini dan umumnya tidak bisa dipahami oleh laki-laki.
Di sisi lain, dunia sains juga menemukan alasan yang lebih dalam mengapa perempuan terikat satu sama lain, disamping hanya untuk bersenang-senang. Untuk perempuan, hubungan dengan perempuan lain bukan hanya untuk tujuan bersenang-senang, namun lebih kepada perlindungan. Dengan memiliki teman sesama perempuan untuk berbagi tantangan dan transisi dalam hidup, dukungan seperti ini juga bisa membantu tekanan darah tetap rendah, meningkatkan imunitas dan membantu penyembuhan dalam berbagai hal. Ini mungkin juga bisa menjadi alasan mengapa rata-rata perempuan memiliki kemungkinan mengalami penyakit jantung yang rendah dan juga masa hidup yang lebih panjang dibandingkan laki-laki.
Kalau pada umumnya reaksi laki-laki dalam menghadapi stress adalah ‘melawan atau menghindar’ (baca: kekerasan atau menarik diri); perempuan justru menghadapi stress dengan reaksi yang lebih sosial (6). Cara laki-laki menghadapi stress dengan menggunakan kekerasan dan menarik diri justru akan membawa dampak buruk secara fisiologis, sementara perempuan lebih memilih untuk menghibur dan membuat dirinya nyaman untuk mengurangi efek negatif dari stress. Hal ini saja sudah memberi kontribusi yang besar dalam perbedaan masa hidup laki-laki dan perempuan.
Disamping alasan fisiologis, ada dasar fisiologis dari keterikatan sesama perempuan. Riset dari Stanford (7) dan UCLA (8) menunjukkan bahwa perempuan, lebih dari laki-laki, perlu untuk menjaga hubungan sosial. Stress meningkatkan produksi serotonin dan oxytocin, yaitu hormon yang berkaitan dengan keterikatan atau sebuah hubungan. Meningkatnya hormon ini selama masa stress mendorong perempuan untuk peduli dan terhubung dengan perempuan lainnya.
.
Dalam prakteknya, bagaimana kita bisa membuat hubungan yang sehat dan suportif dengan sesama perempuan? Tentu saja hal ini bisa jadi sedikit rumit, terutama di tengah kondisi yang terpisah-pisah dan terisolasi ini. Tapi, justru ini yang membuat kita harus saling mendukung satu sama lain lebih dari sebelumnya. Salah satunya adalah lewat Women’s Circle. Women’s Circle adalah pertemuan dari perempuan untuk perempuan; tempat yang aman untuk perempuan segala usia dan latar belakang, dimana mereka bisa hadir untuk berbagi cerita, mendengarkan dan didengarkan tanpa ada penilaian, dan untuk terhubung dengan perempuan lain. Walaupun biasanya ada seorang yang menjadi host, biasanya host adalah bagian dari kelompok dan bukan seorang pemimpin. Sehingga, dalam kelompok ini, semua suara perempuan sama-sama pentingnya.
Apakah saya tidak bisa melakukan ini sendiri dengan teman perempuan/saudara perempuan/ibu/terapis saya? Kami sering dapat pertanyaan seperti ini. Tentu saja bisa, dan tentu saja itu juga menjadi sesuatu yang berharga. Tapi, kalau boleh jujur...seberapa sering teman/saudara/ibu/terapis kita benar-benar memberi ruang hanya untuk mendengarkan kita, tanpa ikut memberi saran, opini, atau yang lebih buruknya, menatap kita dengan tatapan lebih tahu? Sebaliknya, dalam Women’s Circle ini, setiap perempuan diberi waktu 5 menit untuk benar-benar didengarkan oleh kelompok. Setiap perempuan bisa memakai waktu ini untuk bicara sementara yang lain akan mendengarkan dengan seksama tanpa memotong pembicaraan. Setiap perempuan juga bebas untuk berbagi cerita tanpa takut menghadapi penilaian, berada di lingkungan yang aman dan mendapat dukungan penuh. Ada kekuatan dan kebebasan yang kita dapatkan ketika kita bisa benar-benar terbuka dan menjadi rapuh di hadapan kelompok; mungkin kita kenal dengan sebagian orang, sebagian lagi benar-benar orang asing; dan mengetahui bahwa mereka ada disana hanya untuk mendengarkan kita. Alasan lainnya, para psikolog telah membuktikan bahwa endorfin (hormon cinta dan kebahagiaan) dilepaskan ke otak saat kita membicarakan diri kita. Kita juga bisa berlatih seni mendengarkan, memberi kesempatan untuk kita melatih empati dan kesabaran, dan membuat kita tetap ada disana tanpa perlu memikirkan respon apapun.
Yang terpenting, bisa berbagi kesulitan, cerita-cerita, dan perasaan membuat kita sadar bahwa kita tidak sendirian. Tahu bahwa setiap perempuan juga melalui waktu saat harga diri rendah, saat menghadapi konflik di tempat kerja atau di hubungan, saat ketika merasa ragu pada diri sendiri – dan melihat dan mendengarkan perempuan lain mengubah kesulitan hidup menjadi kesempatan, membuat kita merasa lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Kita diingatkan kalau kita juga bisa melakukan hal yang sama. Kita melihat sebuah cahaya di ujung lorong. Kita dikuatkan. Dan sebagai bonus, kita mungkin sekali lagi akan membuat para lelaki bingung dengan kesosialan kita.
Catatan Penulis: Maja Healing mengadakan dua sesi Women’s Circle setiap bulan; satu dalam bahasa Inggris dan satu dalam bahasa Indonesia, dan juga Men’s Circle dalam bahasa Inggris. Cek IG dan website kami untuk informasi lebih jelas.
Referensi:
https://www.theidioms.com/no-man-is-an-island/
American Psychological Association. Manage Stress: Strengthen Your Support Network. Updated October 2019.
Masi, C.M., Chen, H., Hawkley, L.C., and Cacioppo, J.T. (2011). A meta-analysis of interventions to reduce loneliness. Personality and Social Psychology Review 15(3), pp. 219-266.
Uchino, B. (2009). Understanding the links between social support and physical health. Perspectives on Psychological Science 4(3), pp. 236-255.
Grav, S., Hellzèn, O., Romild, U., and Stordal, E. (2012). Association between social support and depression in the general population: The HUNT study, a cross-sectional survey. Journal of Clinical Nursing. 21(1-2), pp. 111-120.
Nazario, B. (2005). Why Men and Women Handle Stress Differently. Available here.
Goldman, B. (2013). 'Love hormone' may play wider role in social interaction than previously thought, scientists say. Available here.
Science Daily (2000). UCLA Researchers Identify Key Biobehavioral Pattern Used By Women To Manage Stress. Available here.
Comments